Buaya Putih


.


Dahulu kala di wilayah sebelah barat bumi perdikan Sendang Kamulyan ada sebuah padepokan. Padepokan itu bernama Padepokan Sinawang yang telah menganut agama Islam.
Pada waktu itu, wilayah tersebut berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit yang sedang dirundung duka. Putri Raja satu-satunya yang bernama Raden Ayu Saraswati sedang sakit. Sakitnya sangat aneh. Tubuh Raden Ayu Saraswati mengeluarkan bau amis yang sangat menyengat. Siapa pun yang mencium baunya pasti akan segera menutup lubang hidungnya.
Raja sudah berusaha mengobati putrinya. Semua ahli pengobatan di wilayah kerajaan sudah didatangkan. Namun, tak seorangpun yang dapat mengobati penyakit aneh Raden Ayu Saraswati.
“Bagaimana ini, Paman Patih? Aku akan malu sekali kalau keadaan putriku diketahui para raja yang berkunjung kemari!” keluh Raja pada wakilnya.
“Pendapat hamba, sebaiknya putrid Baginda dititipkan untuk sementara waktu di padepokan (perguruan) Sinawang yang berada di sebelah barat kerajaan. Mungkin di sana nanti putri Baginda dapat menemukan jalan untuk sembuh,” usul Patih Kerajaan.
“Usulmu baik sekali, Paman Patih! Besok, Paman Patih sendiri yang harus mengantarkan putriku ke sana!” kata Raja.
Keesokan harinya, Patih Kerajaan mengantarkan Raden Ayu Saraswati ke Padepokan Sinawang. Ki Ageng Sinawang yang memimpin padepokan menyambutnya dengan hormat.
Para murid Padepokan Sinawang juga ikut menyambut kedatangan Patih Kerajaan. Namun, semua murid padepokan itu tak tahan dengan bau amis yang menyebar dari tubuh Raden Ayu Saraswati. Mereka pun menutup lubang hidungnya masing-masing.
“Maafkan saya, Ki Ageng! Saya adalah Patih Kerajaan Majapahit, sedangkan yang bersama saya ini adalah putrid Baginda Raja. Namanya Raden Ayu Saraswati. Namun, saat ini Tuan Putri sedang sakit. Tubuhnya mengeluarkan bau amis yang sangat menyengat. Untuk itu, Baginda hendak menitipkan Tuan Putri di sini agar Ki Ageng membantu mengobatinya!”
“Oh, kiranya tamu kami adalah Tuan Patih Kerajaan Majapahit! Maaf bila sambutan kami kurang sopan. Kami dengan senang hati akan menerima Raden Ayu Saraswati tinggal di sini bersama murid-murid saya yang lain,” jawab Ki Ageng Sinawang.
Setelah mendengar jawaban Ki Ageng Sinawang, Patih Kerajaan Majapahit segera mohon pamit. Ki Ageng Sinawang pun memperkenalkan Raden Ayu Saraswati kepada murid-murid padepokan yang lain.
Banyak murid padepokan itu yang menutup hidung saat diperkenalkan dengan Raden Ayu Saraswati. Mereka saling berbisik memberi julukan Raden Ayu Saraswati dengan nama Rara Amis.
Raden Ayu Saraswati tak peduli dengan julukan Rara Amis yang diberikan kepadanya. Ia giat mengikuti petunjuk Ki Ageng Sinawang yang membantu untuk mengobati penyakitnya. Oleh Ki Ageng Sinawang, Raden Ayu Saraswati disuruh berendam di Sungai Bagong setiap pagi.
Pagi itu adalah hari ke empat puluh Raden Ayu Saraswati berendam di sungai Bagong. Namun, bau amis di tubuhnya belum berkurang sedikitpun. Bahkan baunya semakin bertambah menyengat. Hamper saja Raden Ayu Saraswati putus asa. Untunglah Ki Ageng Sinawang pandai memberinya semangat.
Saat baru beberapa jam Raden Ayu Saraswati berendam muncul seorang pemuda tampan berenang mendekatinya.
“Oh, maafkan aku, Nini! Aku tak tahu kalau ada seorang wanita sedang berendam di sini! Tapi, kenapa di sini baunya amis sekali, ya?” kata pemuda tampan itu sambil membaui udara yang berbau amis sampai hidungnya kembang kempis.
“Aku juga minta maaf, Tuan! Akulah yang menyebabkan bau amis di sini. Entah mengapa, tubuhku mengeluarkan bau amis. Aku berendam di sini untuk mengobati sakitku ini!” kata Raden Ayu Saraswati terus terang.
“Jadi tubuh Nona mengeluarkan bau amis? Kalau aku dapat menghilangkan bau amis dari tubuh Nona, bersediakah Nona menjadi istriku?” tanya pemuda tampan itu.
“Aku sudah hampir putus asa dengan penyakitku ini. Kalau Tuan bisa menyembuhkannya, aku akan menuruti apa pun keinginan Tuan!”
“Nona sudah berjanji, harus Nona tepati! Nah, sekarang aku akan mulai mengobatimu!”
Pemuda tampan itu berdiri tegak dengan kedua telapak tangan berada dalam air sungai. Secara perlahan air sungai tiba-tiba bergolak seperti air mendidih. Namun, air itu tidak panas. Justru air itu terasa sejuk di kulit Raden Ayu Saraswati.
Tak lama kemudian, pemuda tampan itu menarik kedua tangannya dari dalam air. Air sungai seketika tenang kembali. Setelah itu, pemuda itu mulai mengobati tubuh Saraswati dengan cara menjilat tubuhnya. Beberapa saat kemudian selesailah sudah pengobatan itu.
“Sekarang bau amis di tubuh Nona sudah hilang. Nona harus mau menjadi istriku!”
Ternyata benar! Tubuh Raden Ayu Saraswati sudah tidak mengeluarkan bau amis lagi. Justru sekarang tubuhnya mengeluarkan bau harum.
“Tuan, aku Saraswati akan menurut menjadi istri Tuan!” kata Raden Ayu penuh rasa gembira.
“Baiklah, Saraswati! Aku Sraba ingin segera melamarmu. Ayo, tunjukkan di mana rumahmu!”
Raden Ayu Saraswati mengajak Sraba menghadap Ki Ageng Sinawang. Sraba pun mengutarakan keinginannya untuk menikahi Raden Ayu Saraswati. Ki Ageng Sinawang pun mengutus salah satu muridnnya untuk mengabarkan berita pernikahan Raden Ayu Saraswati ke Kerajaan Majapahit.
Pernikahan Raden Ayu Saraswati dan Sraba dilakukan secara sederhana. Sang Raja pun dating untuk merestui pernikahan putrinya. Setelah itu, Raden Ayu Saraswati meminta pada ayahandanya agar diizinkan hidup berumah tangga di padepokan Ki Ageng Sinawang. Raja itu tak keberatan.
Tak lama kemudian, Raden Ayu Saraswati pun hamil. Pada saat Raden Ayu Saraswati sedang hamil itu, Sraba ingin mengurung diri di sebuah kamar.
“Aku hendak bertapa selama beberapa hari untuk memohon kepada Tuhan agar anak kita kelak menjadi manusia yang berguna bagi orang banyak. Pesanku, selama kandunganmu belum lahir, janganlah Dinda mengambil jemuran sebelum senja tiba. Dinda juga tidak boleh masuk ke kamar tempat pertapaanku sebelum aku sendiri yang keluar.”
“Baik, Kakanda! Akan aku ingat baik-baik pesan, Kanda!”
Raden Ayu Saraswati mula-mula sangat memegang teguh pesan suaminya. Namun, ketika mendekati hari kelahiran bayinya, ia mulai melanggar pesan suaminya. Raden Ayu Saraswati mengambil jemuran sebelum senja tiba.
Sejak melanggar pesan suaminya itu, perasaan Raden Ayu Saraswati tidak menentu. Ia sangat rindu untuk bertemu dengan suaminya. Dengan nekat, Raden Ayu Saraswati masuk ke kamar tempat suaminya bertapa.
Raden Ayu Saraswati sangat kaget ketika melihat seekor buaya putih di kamar pertapaan suaminya.
“Bu..bu..buaya! Ke..kenapa ada buaya di sini ?”
“Jangan takut Dinda Saraswati! Aku sebenarnya adalah Sraba suamimu. Karena engkau telah melanggar pesan-pesanku maka aku kembali ke wujud asliku. Aku sebenarnya adalah buaya putih penguasa Sungai Bagong. Hari ini juga aku akan kembali ke Sungai Bagong. Hanya pesan terakhirku, kelak jika anak kita lahir laki-laki, berilah nama Menak Sopal! Sudah Dinda Saraswati! Aku akan pergi!” kata buaya putih itu yang kemudian menghilang.
Beberapa bulan kemudian, Raden Ayu Saraswati benar-benar melahirkan bayi laki-laki. Sesuai dengan pesan buaya putih jelmaan suaminya, bayi laki-laki itu diberinya nama Menak Sopal.

Your Reply

Selasa, 19 Februari 2013

Buaya Putih

Diposting oleh cathy khaterina di 03.26

Dahulu kala di wilayah sebelah barat bumi perdikan Sendang Kamulyan ada sebuah padepokan. Padepokan itu bernama Padepokan Sinawang yang telah menganut agama Islam.
Pada waktu itu, wilayah tersebut berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit yang sedang dirundung duka. Putri Raja satu-satunya yang bernama Raden Ayu Saraswati sedang sakit. Sakitnya sangat aneh. Tubuh Raden Ayu Saraswati mengeluarkan bau amis yang sangat menyengat. Siapa pun yang mencium baunya pasti akan segera menutup lubang hidungnya.
Raja sudah berusaha mengobati putrinya. Semua ahli pengobatan di wilayah kerajaan sudah didatangkan. Namun, tak seorangpun yang dapat mengobati penyakit aneh Raden Ayu Saraswati.
“Bagaimana ini, Paman Patih? Aku akan malu sekali kalau keadaan putriku diketahui para raja yang berkunjung kemari!” keluh Raja pada wakilnya.
“Pendapat hamba, sebaiknya putrid Baginda dititipkan untuk sementara waktu di padepokan (perguruan) Sinawang yang berada di sebelah barat kerajaan. Mungkin di sana nanti putri Baginda dapat menemukan jalan untuk sembuh,” usul Patih Kerajaan.
“Usulmu baik sekali, Paman Patih! Besok, Paman Patih sendiri yang harus mengantarkan putriku ke sana!” kata Raja.
Keesokan harinya, Patih Kerajaan mengantarkan Raden Ayu Saraswati ke Padepokan Sinawang. Ki Ageng Sinawang yang memimpin padepokan menyambutnya dengan hormat.
Para murid Padepokan Sinawang juga ikut menyambut kedatangan Patih Kerajaan. Namun, semua murid padepokan itu tak tahan dengan bau amis yang menyebar dari tubuh Raden Ayu Saraswati. Mereka pun menutup lubang hidungnya masing-masing.
“Maafkan saya, Ki Ageng! Saya adalah Patih Kerajaan Majapahit, sedangkan yang bersama saya ini adalah putrid Baginda Raja. Namanya Raden Ayu Saraswati. Namun, saat ini Tuan Putri sedang sakit. Tubuhnya mengeluarkan bau amis yang sangat menyengat. Untuk itu, Baginda hendak menitipkan Tuan Putri di sini agar Ki Ageng membantu mengobatinya!”
“Oh, kiranya tamu kami adalah Tuan Patih Kerajaan Majapahit! Maaf bila sambutan kami kurang sopan. Kami dengan senang hati akan menerima Raden Ayu Saraswati tinggal di sini bersama murid-murid saya yang lain,” jawab Ki Ageng Sinawang.
Setelah mendengar jawaban Ki Ageng Sinawang, Patih Kerajaan Majapahit segera mohon pamit. Ki Ageng Sinawang pun memperkenalkan Raden Ayu Saraswati kepada murid-murid padepokan yang lain.
Banyak murid padepokan itu yang menutup hidung saat diperkenalkan dengan Raden Ayu Saraswati. Mereka saling berbisik memberi julukan Raden Ayu Saraswati dengan nama Rara Amis.
Raden Ayu Saraswati tak peduli dengan julukan Rara Amis yang diberikan kepadanya. Ia giat mengikuti petunjuk Ki Ageng Sinawang yang membantu untuk mengobati penyakitnya. Oleh Ki Ageng Sinawang, Raden Ayu Saraswati disuruh berendam di Sungai Bagong setiap pagi.
Pagi itu adalah hari ke empat puluh Raden Ayu Saraswati berendam di sungai Bagong. Namun, bau amis di tubuhnya belum berkurang sedikitpun. Bahkan baunya semakin bertambah menyengat. Hamper saja Raden Ayu Saraswati putus asa. Untunglah Ki Ageng Sinawang pandai memberinya semangat.
Saat baru beberapa jam Raden Ayu Saraswati berendam muncul seorang pemuda tampan berenang mendekatinya.
“Oh, maafkan aku, Nini! Aku tak tahu kalau ada seorang wanita sedang berendam di sini! Tapi, kenapa di sini baunya amis sekali, ya?” kata pemuda tampan itu sambil membaui udara yang berbau amis sampai hidungnya kembang kempis.
“Aku juga minta maaf, Tuan! Akulah yang menyebabkan bau amis di sini. Entah mengapa, tubuhku mengeluarkan bau amis. Aku berendam di sini untuk mengobati sakitku ini!” kata Raden Ayu Saraswati terus terang.
“Jadi tubuh Nona mengeluarkan bau amis? Kalau aku dapat menghilangkan bau amis dari tubuh Nona, bersediakah Nona menjadi istriku?” tanya pemuda tampan itu.
“Aku sudah hampir putus asa dengan penyakitku ini. Kalau Tuan bisa menyembuhkannya, aku akan menuruti apa pun keinginan Tuan!”
“Nona sudah berjanji, harus Nona tepati! Nah, sekarang aku akan mulai mengobatimu!”
Pemuda tampan itu berdiri tegak dengan kedua telapak tangan berada dalam air sungai. Secara perlahan air sungai tiba-tiba bergolak seperti air mendidih. Namun, air itu tidak panas. Justru air itu terasa sejuk di kulit Raden Ayu Saraswati.
Tak lama kemudian, pemuda tampan itu menarik kedua tangannya dari dalam air. Air sungai seketika tenang kembali. Setelah itu, pemuda itu mulai mengobati tubuh Saraswati dengan cara menjilat tubuhnya. Beberapa saat kemudian selesailah sudah pengobatan itu.
“Sekarang bau amis di tubuh Nona sudah hilang. Nona harus mau menjadi istriku!”
Ternyata benar! Tubuh Raden Ayu Saraswati sudah tidak mengeluarkan bau amis lagi. Justru sekarang tubuhnya mengeluarkan bau harum.
“Tuan, aku Saraswati akan menurut menjadi istri Tuan!” kata Raden Ayu penuh rasa gembira.
“Baiklah, Saraswati! Aku Sraba ingin segera melamarmu. Ayo, tunjukkan di mana rumahmu!”
Raden Ayu Saraswati mengajak Sraba menghadap Ki Ageng Sinawang. Sraba pun mengutarakan keinginannya untuk menikahi Raden Ayu Saraswati. Ki Ageng Sinawang pun mengutus salah satu muridnnya untuk mengabarkan berita pernikahan Raden Ayu Saraswati ke Kerajaan Majapahit.
Pernikahan Raden Ayu Saraswati dan Sraba dilakukan secara sederhana. Sang Raja pun dating untuk merestui pernikahan putrinya. Setelah itu, Raden Ayu Saraswati meminta pada ayahandanya agar diizinkan hidup berumah tangga di padepokan Ki Ageng Sinawang. Raja itu tak keberatan.
Tak lama kemudian, Raden Ayu Saraswati pun hamil. Pada saat Raden Ayu Saraswati sedang hamil itu, Sraba ingin mengurung diri di sebuah kamar.
“Aku hendak bertapa selama beberapa hari untuk memohon kepada Tuhan agar anak kita kelak menjadi manusia yang berguna bagi orang banyak. Pesanku, selama kandunganmu belum lahir, janganlah Dinda mengambil jemuran sebelum senja tiba. Dinda juga tidak boleh masuk ke kamar tempat pertapaanku sebelum aku sendiri yang keluar.”
“Baik, Kakanda! Akan aku ingat baik-baik pesan, Kanda!”
Raden Ayu Saraswati mula-mula sangat memegang teguh pesan suaminya. Namun, ketika mendekati hari kelahiran bayinya, ia mulai melanggar pesan suaminya. Raden Ayu Saraswati mengambil jemuran sebelum senja tiba.
Sejak melanggar pesan suaminya itu, perasaan Raden Ayu Saraswati tidak menentu. Ia sangat rindu untuk bertemu dengan suaminya. Dengan nekat, Raden Ayu Saraswati masuk ke kamar tempat suaminya bertapa.
Raden Ayu Saraswati sangat kaget ketika melihat seekor buaya putih di kamar pertapaan suaminya.
“Bu..bu..buaya! Ke..kenapa ada buaya di sini ?”
“Jangan takut Dinda Saraswati! Aku sebenarnya adalah Sraba suamimu. Karena engkau telah melanggar pesan-pesanku maka aku kembali ke wujud asliku. Aku sebenarnya adalah buaya putih penguasa Sungai Bagong. Hari ini juga aku akan kembali ke Sungai Bagong. Hanya pesan terakhirku, kelak jika anak kita lahir laki-laki, berilah nama Menak Sopal! Sudah Dinda Saraswati! Aku akan pergi!” kata buaya putih itu yang kemudian menghilang.
Beberapa bulan kemudian, Raden Ayu Saraswati benar-benar melahirkan bayi laki-laki. Sesuai dengan pesan buaya putih jelmaan suaminya, bayi laki-laki itu diberinya nama Menak Sopal.

0 komentar on "Buaya Putih"

Posting Komentar